PERSEPSI PERKAWINAN USIA DINI DAN PEMBERDAYAAN GENDER (STUDI KASUS DESA PANCAWATI KECAMATAN CARINGIN KABUPATEN BOGOR)

Retno Putri

Abstract

Artikel ini berfokus pada bagaimana persepsi terhadap perkawinan di masyarakat memberikan dampak terhadap melonjaknya perkawinan anak usia dini dan di Desa Pancawati, Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Melalui gagasan Martha C. Nussbaum mengenai kesetaraan Gender dan Pendekatan Kemampuannya, Nussbaum mengatakan bahwa perempuan berhak mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki akan tetapi nilain dan norma serta tradisi yang ada justru menghambat perempuan untuk memproleh hak yang setara dengan laki-laki. Artikel ini mencoba memberikan pandangan yang berbeda terkait masyarakat dalam mempersepsikan perkawinan. Berdasarkan hasil dari penelitian, persepsi perkawinan disini dapat dilihat dari empat sudut pandang, yang pertama adalah agama, yang memperbolehkan perkawinan terjadi meskipun usia masih anak-anak selama telah mencapai tanda-tanda kedewasaan, persepsi budaya  yang ada di masyarakat memperbolehkan menikah di usia dini, karena stereotip masyarakat terhadap perempuan yang berusia 17 tahun belum menikah dianggap sebagai “perawan tua”. Dari sudut pandang ekonomi memberikan pandangan bahwa anak semakin bertambah usianya semakin menjadi beban bagi orang tua, sehingga perkawinan di usia muda menjadi solusi untuk meringankan beban hidup orang tuanya. Sedangkan dari sudut pandang hukum, kelonggaran aturan dalam undang-undang perkawinan memberikan celah bagi mereka yang ingin melakukan perkawinan di usia dini.

Keyword: Persepsi, Perkawinan, Usia dini, gender, perempuan.

rtikel ini berfokus pada bagaimana persepsi terhadap perkawinan di masyarakat memberikan dampak terhadap melonjaknya perkawinan anak usia dini dan di Desa Pancawati, Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Melalui gagasan Martha C. Nussbaum mengenai kesetaraan Gender dan Pendekatan Kemampuannya, Nussbaum mengatakan bahwa perempuan berhak mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki akan tetapi nilain dan norma serta tradisi yang ada justru menghambat perempuan untuk memproleh hak yang setara dengan laki-laki. Artikel ini mencoba memberikan pandangan yang berbeda terkait masyarakat dalam mempersepsikan perkawinan. Berdasarkan hasil dari penelitian, persepsi perkawinan disini dapat dilihat dari empat sudut pandang, yang pertama adalah agama, yang memperbolehkan perkawinan terjadi meskipun usia masih anak-anak selama telah mencapai tanda-tanda kedewasaan, persepsi budaya  yang ada di masyarakat memperbolehkan menikah di usia dini, karena stereotip masyarakat terhadap perempuan yang berusia 17 tahun belum menikah dianggap sebagai “perawan tua”. Dari sudut pandang ekonomi memberikan pandangan bahwa anak semakin bertambah usianya semakin menjadi beban bagi orang tua, sehingga perkawinan di usia muda menjadi solusi untuk meringankan beban hidup orang tuanya. Sedangkan dari sudut pandang hukum, kelonggaran aturan dalam undang-undang perkawinan memberikan celah bagi mereka yang ingin melakukan perkawinan di usia dini.

References

Aminah, Andi Nur. Perlu Ubah Tradisi Agar Tak Terjadi Perkawinan Remaja, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/30/mm1rbp-plus-minusdoktrin-budaya-pada%20perkawinan%20-dini. Diakses Tanggal 14 April 2018.

Badan Pusat Statistik. Perkawinan Usia Anak di Indonesia 2013 dan 2015 Edisi Revisi. https://www.bps.go.id/publication/2017/12/25/b8eb6232361b9d8d990282ed/perkawinan-usia-anak-di-indonesia-2013-dan-2015-edisi-revisi.html. Diakses Tanggal 12 April 2018

Evenhuis and Burn. Just Married, Just a Child, p. 25

Geertz, Clifford, 1992, Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius Press.

Jain and Kurz, New Insights on Preventing Child Marriage, p. 8; ICRW

Kardi, Dika Kania. Kontroversi Perkawinan dini dan Polemik batas Usia Perkawinan. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180417110228-12-291347/kontroversi-perkawinan-dini-dan-polemik-batas-usia-perkawinan. Diakses tanggal 12 April 2018

Mediani, Mesha. Perkawinan Dini dan Persoalan Hak Anak yang Tak Terlindungi. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180418100224-20-291626/perkawinan-dini-dan-persoalan-hak-anak-yang-tak-terlindungi. Diakses Tanggal 19 April 2018

Nussbaum MC (1999) Seks and social justice. Oxford University Press, New York

Raj, A. (2010). When the mother is a child: The impact of child marriage on the health and human rights of girls. Boston. Archives of disease in childhood. 95, (11), p. 931.

Romadoni, Ahmad. Unicef Soroti Perkawinan Dini diIndonesia, https://www.liputan6.com/news/read/2870119/unicef-soroti-perkawinan-dini-di-indonesia. Diakses Tanggal 19 April 2018.

Rostanti, Qommarria. Faktor Budaya Jadi Penyebab Perkawinan Dini di Pelosok, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/07/24/otl6v2425-faktor-budaya-jadi-penyebab-perkawinan-dini-di-pelosok. Diakses Tanggal 12 April 2018.

Sasongko, Agung. Begini Islam Memandang Perkawinan Dini, http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/16/07/14/oaampg313-begini-islam-memandang-perkawinan-dini. Diakses Tanggal 14 April 2018.

Streubert & Carpenter, S. (2011). Qualitative Research in Nursing: Advancing. Humanistic Imperativ (5 th Ed).

WHO. (2014). World Health Statistics 2014. Geneva, Switzerland: World Health Organization.

Refbacks

  • There are currently no refbacks.